Kegiatan Green Island Biennial yang diselenggarakan oleh Museum Nasional Hak Asasi Manusia (NHRM), resmi diluncurkan tanggal 13 Mei 2025 melalui konferensi pers di Aula Taman Peringatan Jingmei, situs bekas penjara era Teror Putih (White Terror).
Dalam konferensi pers tersebut, pihak penyelenggara mengumumkan partisipasi 23 kelompok seniman dari dalam dan luar negeri, rangkaian kegiatan pendukung, dan menggelar forum internasional pertama yang menghadirkan Direktur Artistik Jeju Biennale, Jeauk Lucas Kang.
Menteri Kebudayaan Taiwan, Li Yuan, dalam sambutannya menjelaskan bahwa selain berfokus pada perkembangan seni, film, dan penerbitan, ia juga sangat peduli pada nilai-nilai hak asasi manusia dan kebebasan.
Pameran yang disajikan melibatkan 23 kelompok seniman dari berbagai latar belakang, termasuk tujuh kelompok internasional dari Haiti, Kroasia, Malaysia, Hong Kong, Indonesia, dan Vietnam, dengan hasil karya seni yang sangat beragam, seperti video art, instalasi, lukisan, karya suara, dan arsip dokumenter. Para seniman menggunakan seni sebagai medium untuk mengolah ingatan sejarah dan bentuk perlawanan, serta mengangkat isu-isu kontemporer seputar hak asasi manusia.
Pameran yang disajikan melibatkan 23 kelompok seniman dari berbagai latar belakang, termasuk tujuh kelompok internasional dari Haiti, Kroasia, Malaysia, Hong Kong, Indonesia, dan Vietnam.
Meskipun anggaran museum terbatas, bahkan tahun ini mengalami pemotongan sebesar NTD 20 juta, Li Yuan menyatakan bahwa kegiatan tetap akan berjalan melalui upaya penggalangan dana dan kerja sama lintas sektor.
Li Yuan percaya bahwa seni mampu membangun pemahaman yang lebih dalam antar manusia. “Melalui seni, kita bisa membayangkan bagaimana para pendahulu hidup dengan tabah di pulau terasing itu, menatap bintang dan laut, dan terus bertahan. Seni bisa membawa kita lebih dekat pada luka dan duka masa lalu,” ujarnya.
Green Island Biennial tahun ini mengangkat tema yang merujuk pada perjalanan sejarah para tahanan politik yang sejak tahun 1951 dibawa dari Pelabuhan Keelung menuju Green Island, sebuah perjalanan penuh luka yang kini dihidupkan kembali melalui ekspresi seni mendalam.
Para seniman menggunakan seni sebagai medium untuk mengolah ingatan sejarah dan bentuk perlawanan, serta mengangkat isu-isu kontemporer seputar hak asasi manusia.