18/07/2025

Taiwan Today

Sosial

MK Taiwan: Kriminalisasi Perzinaan Tidak Konstitusional

01/06/2020
Lin Meng-huan menegaskan bahwa dekriminalisasi perzinaan bukan berarti seseorang dapat melakukan hubungan gelap sesuai keinginan. “Yang harus menjadi perhatian kita adalah pasangan suami-istri menjalankan kehidupan berumah tangga dan perasaan mereka secara pribadi, dan negara tidak boleh ikut campur. Ini adalah arti dari interpretasi Mahkamah Konstitusi,” tegas Lin Meng-huan. (Foto oleh CNA)
Pada tanggal 29 Mei 2020, Ketua Mahkamah Konstitusi Taiwan, Hsu Tzong-li mengumumkan bahwa Undang-Undang yang menyatakan bahwa tindakan berzina sebagai tindakan kriminal dinyatakan tidak sesuai dengan konstitusi.

Interpretasi nomor 791 tersebut dilakukan oleh 15 orang hakim Mahkamah Konstitusi yang melakukan peninjauan ulang terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Pasal 239 dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menyebutkan bahwa seseorang yang sudah menikah dan melakukan perzinaan bisa dijerat dengan sanksi kurungan maksimal satu tahun, tetapi kegiatan peradilan tidak bisa dilaksanakan tanpa ada tuntutan dari korban. Sanksi ini juga berlaku untuk pasangan selingkuhan orang tersebut.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana pasal 239 disebutkan bahwa ketika terjadi tindak pidana seperti yang tertulis dalam Undang-Undang Hukum Pidana pasal 239, penarikan dakwaan terhadap seorang pasangan, tidak dipertimbangkan sebagai penarikan dakwaan terhadap pasangan zina.    

Selama beberapa tahun terakhir, sebanyak 18 orang hakim dan satu orang pria yang didakwa atas tuduhan perzinaan telah meminta kepada Mahkamah Konstitusi untuk menghapus Interpretasi nomor 554 yang menyatakan bahwa pasal 239 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana adalah sesuai konstitusi.   

Sekretaris Jenderal Yudisial Yuan, Lin Hui-huang, menjelaskan setelah melaksanakan dengar pendapat dan peninjauan kembali terhadap putusan-putusan provisional, serta Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Mahkamah Konstitusi Taiwan mengeluarkan Interpretasi nomor 791, yang menyatakan bahwa penghukuman terhadap tindakan perzinaan adalah tidak sesuai dengan konstitusi karena menyalahi privasi, dan hak pengambilan keputusan seseorang. Dampak negatif yang ditimbulkan dengan mengkriminalkan perzinaan secara jelas melampaui manfaat yang ditimbulkan untuk masyarakat, dan melanggar prinsip proporsionalitas dalam arti sempit.          

Dalam Interpretasi nomor 791 dinyatakan bahwa pasal 239 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak sesuai dengan pasal 22 dan 23 Undang-Undang Dasar (Konstitusi), yang melindungi hak dan kebebasan masyarakat dalam kondisi yang tidak mengganggu tatanan sosial ataupun kesejahteraan masyarakat.   

Pasal 23 dalam Undang-Undang Dasar (Konstitusi) menyebutkan bahwa hak dan kebebasan masyarakat tidak boleh dibatasi oleh hukum, kecuali diperlukan untuk mencegah pelanggaran terhadap kebebasan orang lain, untuk menghindari krisis yang akan terjadi, untuk menjaga tatanan sosial, serta untuk memajukan kesejahteraan masyarakat.

Dalam proses peninjauan ulang tersebut, Mahkamah Konstitusi menilai bahwa perzinaan tidak merugikan masyarakat maupun merusak tatanan sosial, serta memutuskan bahwa ketentuan yang tertuang dalam pasal 239 Kitab Undang-Undang Acara Pidana melanggar prinsip perlindungan kesetaraan sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Dasar (Konstitusi).    

Putusan provisional Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menyebutkan bahwa dalam hal proses peradilan yang dilaksanakan hanya berdasarkan pengajuan tuntutan, pencabutan tuntutan terhadap satu orang terdakwa sama artinya dengan mencabut tuntutan bagi semua terdakwa bersangkutan, kecuali dalam kasus perzinaan. Sehingga apabila seorang pasangan mencabut tuntutan terhadap pasangannya yang berselingkuh, pasangan perselingkuhan dari orang tersebut masih harus menjalani tuntutan.  

Hal tersebut melanggar pasal 7 Undang-Undang Dasar (Konstitusi) yang menyatakan bahwa semua warga negara ROC (Taiwan) akan diperlakukan sama di mata hukum, tanpa mempertimbangkan jenis kelamin, agama, ras, kelas atau golongan sosial, maupun afiliasi dengan partai politik tertentu.

Dalam Interpretasi nomor 791, Mahkamah Konstitusi mengumumkan bahwa Pasal Pidana yang menghukum tindakan perzinaan sebagai tindakan pidana dinyatakan tidak berlaku, terhitung sejak interpretasi ini diterbitkan pada hari Jumat, 29 Mei 2020, dan menghapus Interpretasi nomor 554.

Hakim dari Pengadilan Distrik Hualien, Ho Hsiao-kang, menilai kriminalisasi terhadap perzinaan melanggar hak privasi seseorang, dan dalam proses peradilan, tindakan hukum yang diambil sangat tergantikan dengan kompensasi sipil, dan ancaman tersebut lebih efektif daripada ancaman hukum pidana.

Hakim Pengadilan Tinggi Taiwan, Lin Meng-huang, menjelaskan negara tidak seharusnya menggunakan hukum pidana hanya untuk memenuhi kepuasan hati dari salah satu pihak yang bersengketa. Selain itu, hukum pidana tidak bisa menjamin kesetiaan pasangan suami-istri, tetapi sebaliknya malah mempercepat rusaknya sebuah rumah tangga.

Lin Meng-huan juga menegaskan bahwa dekriminalisasi perzinaan bukan berarti seseorang dapat melakukan hubungan gelap sesuai keinginan. “Yang harus menjadi perhatian kita adalah pasangan suami-istri menjalankan kehidupan berumah tangga dan perasaan mereka secara pribadi, dan negara tidak boleh ikut campur. Ini adalah arti dari interpretasi Mahkamah Konstitusi,” tegas Lin Meng-huan.  

Dalam proses interpretasi, Mahkamah Konstitusi juga meminta saran dan pandangan dari beberapa pakar serta tokoh masyarakat. Salah satu tokoh masyarakat yang diundang untuk memberikan tanggapan adalah Direktur Eksekutif Garden of Hope Foundation, Chi Hui-jung. Ia mengatakan, “Saat ini negara-negara maju di dunia sudah tidak mengkategorikan perzinaan sebagai tindakan pidana. Oleh karena itu, sudah waktunya Taiwan melakukan peninjauan terhadap hukum tersebut. Selain itu, kriminalisasi perzinaan melanggar hak privasi rumah tangga, dan tidak sesuai dengan Prasasti Internasional tentang Hak Asasi Manusia.

Departemen Hukum Pidana Yudisial Yuan mengatakan sesuai dengan perkembangan zaman, masyarakat menilai bahwa manusia adalah subjek otonomi seksual dan bukan objek, dan Undang-Undang Hukum Sipil dinilai sudah cukup untuk menjamin hak pasangan dalam berumah tangga. Oleh karena itu, Yudisial Yuan menilai bahwa pasal pidana untuk perzinaan sudah tidak diperlukan.  

Dalam survei yang diselenggarakan oleh Kementerian Hukum (MOL) empat tahun lalu, dan diikuti oleh 17.550 orang peserta diketahui bahwa 85% dari responden menolak penghapusan perzinaan sebagai tindakan pidana.
 
Enam tahun yang lalu, MOL juga pernah melakukan survei melalui sebuah perusahaan peneliti opini masyarakat, dan diketahui bahwa 77,3% tidak setuju dengan penghapusan perzinaan dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Meskipun pemerintah telah melakukan amandemen terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, sekitar 70% masyarakat masih menyatakan menolak penghapusan tersebut.     
 
Dalam survei yang dilaksanakan 3 tahun lalu oleh Yayasan Taiwan Foundation for Democracy, diketahui bahwa 10% masyarakat menyatakan sangat setuju, 16% menyatakan setuju, 25,1% menyatakan kurang setuju, 44,3% sangat tidak setuju, dan 4,6% tidak peduli. Dengan kata lain, sekitar 26% masyarakat menyatakan setuju dengan penghapusan perzinaan dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, sedangkan sebannyak 69% masyarakat menyatakan menolak.
 

Terpopuler

Terbaru